5 - NusrohUpdate

Kisah Pembunuhan Abu Rafi Sallam bin Abul-Huqaiq, Sang Yahudi Perongrong Islam

165
×

Kisah Pembunuhan Abu Rafi Sallam bin Abul-Huqaiq, Sang Yahudi Perongrong Islam

Sebarkan artikel ini

IBNU Ishaq meriwayatkan beserta sanadnya, dari Abdullah bin Ka’b bin Malik radhiyallohu anhu, la berkata: Diantara banyak karunia yang telah Allah berikan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam adalah bahwa dua kabilah Anshar yakni Aus dan Khazraj selalu berlomba melakukan sesuatu untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana persaingan hewan jantan.

Baca : Bab 4 – Nabi SAW. Tiba di Madinah, Kegembiraan Penduduknya dan Begini Sambutannya

Setiap kali Aus melakukan sesuatu untuk membantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam orang-orang Khazraj berkata, “Demi Allah! Dengan melakukan ini, kalian tidak boleh melampaul kami dalam mendapatkan keutamaan di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Kemudian tidak henti-hentinya orang-orang Khazraj berusaha sampal bisa melakukan hal yang sepadan.

Sebaliknya, setiap kali Khazraj melakukan sesuatu untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, orang-orang Aus mengatakan hal yang sama.

Demikianlah ketika kabilah Aus berhasil memb*n*h Ka’b bin Asyraf karena memusuhi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, orang-orang Khazraj berkata, “Demi Allah! Dengan melakukan hal itu, kallan sama sekali tidak boleh mendapatkan keutamaan melampaui kami,”

Kemudian mereka membahas orang yang memusuhi Rasulullah sebagaimana Ka’b bin Asyraf, akhirnya mereka mengambil keputusan bahwa orang tersebut adalah Ibnu Abil-Huqaiq yang tinggal di Khaibar.

Lalu mereka meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memb*n*hnya.

Belau pun memberikan izin kepada mereka, maka berangkatlah lima orang Khazraj dari Marga Bani Salimah: (1) Abdullah bin Atik, (2) Masud bin Sinan, (3) Abdullah bin Unals, (4) Abu Qatadah Harits bin Ribil, dan (5) Khuzasi bin Aswad radhiyallohu anhum.

Khuzasi merupakan sekutu mereka dari Marga Bani Aslam. Mereka pun berangkat.

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menunjuk Abdullah bin ‘Atik sebagai amir mereka.

Beliau juga melarang mereka membunuh anak-anak maupun para wanita.

Ketika sampai di Khaibar dan berhasil memasuki rumah Ibnu Abil-Huqaiq pada malam hari, mereka mengunci setiap kamar yang ada di dalam rumah tersebut dari luar Ibnu Abi-Huqaiq berada di dalam sebuah kamar di lantai atas yang dipasang
tangga dari dahan rumah.

Mereka menaiki tangga dan berdiri di depan pintu, Lalu mereka meminta izin untuk masuk, Istri Ibnu Abil-Huqaiq keluar menemui mereka dan bertanya, “Siapa kalian?”

Mereka berkata, “Kami adalah beberapa orang Arab yang sedang mencari bahan makanan.” (Sambil menunjuk suaminya, Ibnu Abil Huqaiq), wanita itu berkata, “Itu orang yang kalian cari (yang memiliki bahan makanan) Masuklah ke dalam untuk menemuinya,”

Mereka bercerita: Setelah memasuki kamar yang ditempati Ibnu Abil-Huqaiq
kami mengunci pintunya dari dalam, karena khawatir akan terjadi perlawanan antara kami dan dia.

Maka istrinya berteriak memberitahunya tentang kedatangan kami, kami pun cepat-cepat mengacungkan pedang kami ke arahnya, sementara la sedang berbaring di tempat tidurnya.

Dema Allah! Dalam kegelapan malam tersebut, tidak ada yang menunjukkan sosoknya selain warna putih tubuhnya tampak bagaikan sehelai kain tipis putih buatan Mesir yang dilemparkan di atas tempat tidur.

Ketika istri Ibnu Abil Huqaiq meneriaki kami, salah seorang dari kami mengangkat pedang ke arahnya.

Namun ia teringat larangan Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam.

Maka ia menarik kembali tangannya. Kalau saja tidak ada larangan beliau, tentu kami telah menghabisi wanita itu pada malam itu juga.

Setelah kami menyerangnya dengan pedang pedang kami, Abdullah bin Unais men*s*kkan pedangnya ke p*rut Ibnu Abil Huqaiq dengan kuat hingga men*mbus tubuhnya.

Sementara Ibnu Abil Huqaiq merintih, “Cukup! Cukup!” Kemudian kami keluar meninggalkan kamar tersebut.

Abdullah bin ‘Atk memiliki penglihatan yang kurang tajam, sehingga ketika keluar, la terjatuh dari tangga sehingga tangannya memar sedemikian parah.

Kami pun memapahnya hingga sampai ke sebuah bekas benteng bercelah dan digenang air yang dapat menghalangi pandangan orang-orang Yahudi terhadap kami.

Kami pun masuk ke dalamnya. Sementara itu, orang-orang Yahudi menyalakan api unggun dan berlarian ke sana kemari untuk mencari kami.

Akhirnya, setelah merasa kehilangan harapan untuk menemukan kami, mereka kembali ke tempat Ibnu Abil Huqaiq.

Mereka berkerumun di sekelilingnya saat la sedang sekarat.

Lalu kami berkata, “Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa musuh Allah itu benar-benar telah mati?”

Maka salah seorang dari kami berkata, “Aku akan pergi mencari kabar tersebut untuk kalian!”

la pun berangkat hingga dapat menyusup di antara orang-orang Yahudi, la bercerita: Disana, aku mendapati istri Ibnu Abil Huqaiq dan orang-orang Yahudi berada di sekitar Ibnu Abil-Muqaiq.

Sementara itu, di tangan istrinya ada sebuah lentera, la pun menatap wajah suaminya seraya bercerita kepada mereka, “Sungguh, demi Allah! Tadi aku mendengar suara Ibnu ‘Atik.

Tapi kemudian aku menyangkal kepada diriku sendiri. Aku berpikir: Bagaimana mungkin Ibnu ‘Atik bisa berada di tempat ini?!”

Kemudian ia mendekat dan melihat
benar-benar wajah ibnu Abil-Huqaiq, la pun berseru, “Demi sesembahan bangsa Yahudil la telah meninggal!” Sungguh, tidak ada kata-kata yang terdengar lebih lezat bagiku melebihi kata-kata ini.

Kemudian kawan kami datang dan melaporkan hasilnya kepada kami. Lalu kami memapah amir kami (Abdullah bin (Atik) dan kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

Kami pun memberitahu beliau tentang kematian musuh Allah tersebut.

Namun kami berselisih tentang siapa yang telah berhasil membunuhnya.

Masing-masing dari kami mengaku telah membunuhnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berikan pedang-pedang kalian.”

Kami pun menyerahkannya, lalu beliau memeriksanya. Akhirnya beliau berkata mengenal pedang milik Abdullah bin Unais, “Pedang ini telah membunuhnya. Aku melihat bekas makanan melekat padanya.” [Demikian dalam kitab Al-Biddyah (4/137) dan Sirah Ibnu Hisyam (Siratu bni Hisyam) (2/190)).

Menurut riwayat Bukhari, dari Bara’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim beberapa orang Anshar untuk membunuh orang Yahudi yang bernama Abu Rafi.

Beliau menunjuk Abdullah bin Atik sebagai amir mereka. Abu Rafi’ selalu mengganggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan membantu orang-orang yang melawan beliau.

la tinggal di sebuah benteng miliknya di kawasan Hijaz. Para sahabat radhiyallahu ‘anhum telah mendekat ke benteng ketika matahari sudah terbenam, dan orang-orang sudah membawa pulang hewan-hewan ternak mereka dari tempat gembala.

Abdullah (bin (Atik) berkata kepada yang lain, “Duduklah kalian di sini. Aku akan pergi dan mengelabui penjaga gerbang agar dapat masuk ke dalam.”

Lalu pergilah Abdullah hingga sampai di dekat gerbang benteng, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, sehingga menyerupai orang yang membuang hajat.

Sedangkan pada saat itu semua orang sudah masuk. Kemudian penjaga gerbang berteriak kepadanya, “Hai hamba Allah! Jika kamu ingin masuk, masuklah sekarang, karena aku akan mengunci gerbang.”

Abdullah bin Atik berkisah: Aku pun masuk ke dalam, lalu bersembunyi.

Kemudian, ketika semua orang telah masuk, penjaga gerbang itu mengunci gerbang dan menggantungkan kunci-kuncinya di sebuah pasak.

Aku pun menghampiri kunci-kunci tersebut, mengambilnya, dan membuka gerbang.

Abu Rafi biasa mengadakan acara begadang pada setiap malam di lantai atas rumahnya.

Setelah teman-teman begadangnya pergi, aku naik tangga menuju ke kamarnya di lantai atas.

Setiap kali membuka pintu, aku menguncinya dari dalam. Aku berkata dalam hati, “Jika orang-orang menyadari keberadaanku di sini, mereka tidak akan dapat menangkapku sebelum aku berhasil membunuh Abu Rafi.”

Akhirnya aku sampai di kamarnya. Ia berada di sebuah ruangan gelap di antara keluarganya, dan aku tidak tahu pasti di mana posisinya dalam kamar tersebut.

Aku pun berkata, “Abu Rafi’!”

la menyahut, “Siapa itu?”

Maka aku segera menuju ke arah suara itu, lalu menebasnya satu kali tebasan dengan pedang.

Namun karena panik, seranganku tidak berhasil membunuhnya. Abu Rafi’ berteriak. Lalu aku segera meninggalkan ruangan dan menunggu sebentar.

Kemudian aku masuk lagi dan bertanya, “Ada apa ribut-ribut, hai Abu Rafi)?”

la menyahut, “Celaka! Seseorang di ruangan ini baru saja menebasku dengan pedang.”

Lalu aku menebasnya lagi satu kali sehingga dapat melukainya, namun belum berhasil memb*nuhnya.

Kemudian aku menusukkan ujung pedangku ke perutnya hingga dapat menembus punggungnya. Barulah aku merasa yakin bahwa ia telah terb*nuh.

Kemudian aku membuka pintu demi pintu hingga akhirnya sampai ke tangga. Aku pun menurunkan kakiku dengan berpikir bahwa aku telah sampai di tanah (dan ternyata belum sampai ke tanah), sehingga aku terjatuh pada malam bulan purnama.

Salah satu betisku patah, aku pun membalutnya dengan serban, kemudian aku terus berjalan. Lalu aku duduk di dekat gerbang dan berkata dalam hati, “Malam ini aku tidak akan keluar dari sini sebelum aku memastikan apakah aku telah berhasil membunuhnya atau tidak.”

Ketika ayam jantan berkokok, seorang penyiar kematian berdiri di atas dinding, lalu mengumumkan,

“Abu Rafi), saudagar dari tanah Hijaz, telah meninggal!”

Lalu aku kembali kepada teman-temanku dan berkata, “Cepat kita pergi! Allah telah membunuh Abu Rafi.”

Setelah sampai dihadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, aku pun menceritakan kejadiannya.

Lalu beliau bersabda, “Julurkan kakimu.”

Aku pun menjulurkan kakiku, lalu beliau mengusapnya. Maka (kakiku benar-benar sembuh sehingga aku merasa) seolah-olah tidak pernah mengalami cidera sebelumnya.

Diriwayatkan pula beserta sanadnya oleh Bukhari dengan rangkaian kalimat yang berbeda. [Bukhari bersendiri dalam periwayatan hadis ini dengan beberapa rangkaian kalimat tersebut dari antara para penyusun Al-Kutubus-Sittah.

Kemudian Bukhari berkata: Zuhri berkata: Ubay bin Kaib berkata: Ketika itu, Abdullah bin Atik dan kawan-kawannya kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau berada di atas mimbar.

Lalu beliau berkata, “Beruntunglah kalian!”

Mereka menyahut, “Beruntunglah engkau, wahai Rasulullah!”

Kemudian beliau bertanya, “Apakah kalian berhasil membunuhnya?”

“Benar,” jawab mereka.

Beliau bersabda, “Berikan kepadaku pedang (yang digunakan untuk membunuhnya).”

Baca juga : Bab 6 – Dorongan Jihad Saad bin Abi Waqqash dan Ashim bin Amr saat Khutbah pada Perang Qadisiyah

Kemudian beliau menghunus pedang tersebut dari sarungnya, lalu bersabda, “Benar! Ini ada bekas makanan di ujung pedang ini.” [Demikian dalam kitab Al-
Bidayah (4/137)].

Sumber : Kehidupan Para Sahabat (Jilid 1).
Kitab Asli : Hayatush Shahabah (Jilid 1).
Karya : Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi Rah. a.