LALU ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda dengan wajah yang berseri-seri karena begitu gembiranya,
“Bergembiralah kamu, dengan sebaik-baik hari yang berlalu dalam kehidupanmu sejak kamu dilahirkan oleh ibumu!”
Aku berkata, “Apakah ampunan ini darimu wahai Rasulullah, atau dari Allah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukan dariku, tapi dari Allah.”
Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang bergembira, wajah beliau terlihat bercahaya laksana kepingan bulan. Kami dapat mengetahui raut wajah seperti itu pada diri beliau.
Setelah duduk di hadapan beliau, aku berkata, “Wahai Rasulullah! Sebagai bentuk taubatku, aku ingin menginfakkan seluruh hartaku
untuk Allah dan Rasul-Nya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sisakanlah sebagian dari hartamu. Hal ini lebih baik bagimu.”
Aku berkata, “Kalau begitu, aku akan menyisakan jatah hartaku yang ada di Khaibar.”
Aku berkata lagi, “Wahai Rasulullah! Allah telah menyelamatkanku dengan sebab kejujuran. Dan diantara bentuk taubatku adalah aku tidak akan bicara kecuali dengan jujur selama sisa umurku.”
Demi Allah! Sejak aku berkata jujur kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam waktu itu, aku tidak mengetahui seorang pun di kalangan kaum muslimin yang diberi nikmat oleh Allah, berkenaan dengan kejujuran bicaranya, dengan nikmat yang lebih baik daripada yang Dia berikan kepadaku.



