Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Jika aku tiba kembali di Madinah dengan selamat, persoalan inilah yang akan aku sampaikan pertama kali kepada masyarakat.”
Lanjut ibnu Abbas: Setiba kami di Madinah pada penghujung bulan Zulhijah (hari Jumat) aku segera bergegas menuju masjid di siang bolong tanpa menghiraukan terik matahari (dengan lafal ‘shakkatul-a’ma’).
(Aku bertanya kepada Malik: Apakah maksud ‘shakkatul-a’ma?
Malik menjawab: Dia tidak peduli waktu apa dia berangkat, tidak kenal panas, dingin atau apa pun yang lain).
Di sana aku dapati Sa’id bin Zaid telah mendahuluiku, duduk di dekat pojok mimbar sebelah kanan.
Aku pun duduk tepat di sampingnya, lututku menyentuh lututnya. Tidak lama kemudian, Umar pun datang.
Begitu melihatnya, aku berkata, “Sore ini, pasti dia akan mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan siapa pun.”
Sa’id bin Zaid menyangkal ucapanku dengan mengatakan, “Saya kira dia tidak akan mengatakan sesuatu yang belum pernah dikatakan orang lain.”
Umar radhiyallahu ‘anhu duduk di atas mimbar. Setelah muazin selesai
mengumandangkan azan, Umar pun berdiri.
Dia memuji Allah dengan pujian yang pantas untukNya, lalu mengatakan, “Hadirin, sekalian! Aku akan mengatakan suatu perkataan yang telah ditakdirkan kepadaku untuk mengatakannya (Entah, mungkin ajalku sudah dekat) Barangsiapa dapat menghafalnya dan memahaminya, hendaklah menyampaikannya ke tempat yang dapat dijangkau hewan tunggangannya.





